Senin, 19 September 2011

keinginan


Meskipun barometer kebahagiaan bagi setiap orang bersifat relatif, kebahagiaan itu sederhana saja, jika kita mau mengikuti kata hati. Diri dan cara kita menyikapi setiap keadaanlah yang sebenarnya sering membuat kebahagiaan itu sirna.
Mungkin kita pernah mangalami kondisi seperti ini. Kita tidak bahagia, karena kita terlalu banyak keinginan, sehingga kita tidak fokus berproses mencapai satu keinginan, tidak benar-benar memahami apa sebenarnya yang lebih kita butuhkan. Keinginan yang berlebihan adalah nafsu yang mencelakakan dan menimbulkan penyesalan.
Kita tidak bahagia, karena kita seringkali berperang dengan diri, merasa tidak puas dengan keadaan dan tidak mampu menerima kenyataan hidup, sehingga kita larut dalam kekecewaan, menyalahkan bahkan mengkambinghitamkan orang lain, dan menyalahkan takdir.
Kita tidak bahagia, karena kita selalu melihat ke atas, terlalu sering membandingkan diri dengan orang yang lebih tinggi, sehingga selalu merasa kurang dan merasa tidak adil. Kita tidak bahagia, karena kita mencintai kesempurnaan – bukan keutuhan, sehingga sulit menerima kekurangan diri dan orang lain, tidak siap menerima perubahan sesuatu yang kita anggap sempurna, dan ingin selalu mempertahankan kesempurnaan itu.
Kita tidak bahagia, karena kita terlalu mencintai kesenangan hidup dan tidak siap menghadapi kesusahan, sehingga kita tidak memiliki keterampilan dan keahlian untuk menghadapi kekecewaan dan masalah.
Padahal, masalah dan kepahitan merupakan guru kehidupan yang bisa membuat pencerahan
Kita tidak bahagia, karena kita sering berburuk sangka kepada Yang Maha Menentukan, selalu menerka-nerka yang akan terjadi, cemas, gelisah dan takut, sehingga kepercayaan dan keyakinan kita goyah, bahkan hilang.