Jumat, 22 Juli 2011

Puisi, Malam Mengembalikan Mimpi

Kita Gemar mengembar Wajah seseorang
ketimbang melukis peta kematian. bisa
dibedakan udara pagi dengan uap kopi
begitupun sebuah surat belom tentu berisi
pesan yang sama meski ditulis oleh satu tangan

Kau barnyanyi dengan iringan ringkik kuda
dibalik tabung oksigen, aku merasakan waktu
kian tersendat. cinta telah mengatup,katamu.
jadi pelapah bagi angan-angan. hanya sebuah
ketukan dari butir embun yang bergelenyut jatuh
ke kolam mengingatkan kita
tentang hari esok yang tawar

Malam mengembalikan mimpi para lelaki yang
tersesat oleh waktu yang liar. wangi kubur,
juga aroma rambut yang terbakar telah mengantarku
pada seonggok lukisan yang tak sempat kupanjang
dan sebuah dadu yang sering kujadikan pemandu hidup
di meja paradaban, terlempar dari selangkanganku
ah, tiba-tiba aku seperti seekor kucing
yang membersihkan kelaminnya setelah kucing!


Tak Seluruhnya kota Hati


Malam demi malam yang kusanjung itu, akhirnya
membetot bulan dari sumsumku! Keesakitanku pun pecah
menghidupkan sungai-sungai tanpa pelambung, tanpa
perahu, serasa menggapai-gapai dahan waktu

tak tertahan!" aku luapkan juga kecam bagi semesta
bukit-bukit yang cendawan. Sebab di sanalah, bulan
selalu tinggal cerita angin dari dahan ke dahan

Aku kehilangan!" Lengkahku. Orang-orang malah
mengangap lucu. "Aku sangat kehilangan!" ulangku
orang-orang yang tak punya lagi bahkan sekecap
seisap haru, menganggap aku mayat. Yang dapat mereka
kuburkan dengan tawa panjang berdentang-dentang

Tidak,tidak,. Aku bukan mayat. Sebab rasa sakit dan
kehilangan, masih sangat akrab kumiliki. Sumsum tanpa
bulan, daging tak bersinar, semakin menebaskan kelebat
pikiran: bahwa malam demi malam yang kusanjung melebihi
gedung-gedung tinggi, tak seluruh kota hati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar